Mawar dalam kotak (Tamat)

Aku sedang menikmati soreku seperti biasa di taman sepulang kerja.
Kali ini tak kulihat bapak si penjual kopi. Namun aku tetap duduk di kursi taman dan menikmati buku baruku.
Tak kulihat juga laki-laki yang suka duduk di depan bangku ku.
Hati serasa sepi meski mereka bukan siapa-siapaku tapi aku merasakan kehangatan dengan kehadiran mereka di sini di taman ini.
Juga entah ada apa dengan para pemuda yang mengaku penguasa taman itu pun tak ada yang muncul.

"Ada apa ini semua tidak biasanya suasana taman ini sepi" gumamku dalam hati.

Mataku tetap tertuju pada buku yang aku pegang tapi pikiranku tak ada disana, tatapku kosong, hampa, sehampa hatiku saat ini, tak ada yang aku sapa meski hanya dalam senyum.
Langitpun seakan juga merasakan kegalauanku, langit menjadi mendung dan angin pun tak menyapaku sore itu.
Aku melangkahkan kakiku memasuki rumah dengan perasaan gundah akan suasana tadi di taman.

"Kenapa nak Riri terlihat sedih" suara lembut bu Widya menyadarkanku dari lamunan.

"Tidak ibu, saya tidak apa-apa" ku datangi ibu Widya dan ku genggam tangannya.

"Ibu nonton apa? " tanyaku pelan. Usianya sama persis dengan ibu kandungku dan sama sama seorang janda yang tak mau menikah lagi.

"Ah apa ya tadi judulnya tidak ibu perhatikan, biarlah daripada sepi" sahutnya dengan tenang.

"Ibu tahu kemana bapak penjual kopi itu ? " tanyaku pelan

"Saya tak melihatnya ditaman sore ini." Lanjutku.

"Seperti biasa saya hendak memesan kopi padanya namun tak terlihat kedai kaki limanya"

"Sewaktu nak Riri kerja pagi tadi ada yang datang mengabarkan tentang bapak si penjual kopi itu"
Ibu mencoba menjelaskan, aku mencoba untuk diam dan mendengarkan meski dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Ibu memang menunggumu bertanya karena ibu tahu kamu akan memperhatikan ketidak hadirannya di taman"
Ibu Widya bercerita, ada titk air mata di sudut matanya.

"Kenapa ibu, kenapa ibu menangis, ada apa?" Tanyaku penasaran.
Ibu Widya terdiam sesaat, lalu melanjutkan ceritanya.

"Bapak penjual kopi itu telah meninggal pagi tadi jam 10.00"
Ibu Widya kembali terdiam.
Mendengar berita itu perasaanku makin tidak menentu. Aku semakin erat menggenggam tangan ihu Widya.

"Ibu sengaja menunggumu tenang sepulang kerja untuk menyampaikan berita duka ini karena ibu tahu kedekatan bathinmu dengan bapak penjual kopi itu."

"Ibu sering memperhatikanmu bercengkarama dengannya mengingatkan ibu akan ceritamu bahwa kamu rindu kehadiran ayahmu"  ibu Widya kembali terdiam.

Kali ini air matanya menetes di pipinya. Ibu Widya membiarkan air matanya jatuh tanpa menghapusnya.
Tak terasa akupun meneteskan air mata.
Ibu Widya beranjak dari kursi goyang menuju kamarnya, tak lama kemudian keluar membawa sebuah kotak dan menyerahkannya padaku.

Butiran air mataku menetes
Bersama kesedihan medalam
Berkelana jiwaku sesaat mencarimu
Berdiri memaku bumi terhenyak akan kepergianmu

Hatiku kembali hampa
Hanya sepoi angin membelai lembut wajahku
Hitam langit sehitam rasaku
Hancurkan asa yang selalu aku rindu

Sebutir demi sebutir airmataku jatuh
Sembab membasahi pipiku
Sesaat bayangmu hadirkan semyum lembut menyapa
Selamat tinggal bapa pulanglah engkau dalam damai

Rinduku kan selalu terobati dengan aroma racikan kopimu setiap saat
Doaku selalu teriring untukmu
Riuhku tak lagi bermuara pada kata dan makna
Hanya padaNya belaka aku menghamba karena semua adalah milikmu.

Malam itu begitu hening, seakan semua yang ada di dalam maupun di ruangan ikut bersedih.
Akupun tertidur memeluk buku harianku yang basah oleh tetesan air mata.
Selamat jalan bapa si penjual kopi.


Perasaanku masih gundah dengan kepergian bapak si penjual kopi.
Kotak berwarna cokelat masih dalam pelukanku saat aku tertidur semalam. Tanpa membukanya aku memeluknya erat seakat aku tak mauelepaskan nya. Untuk kali kedua aku merasa di tinggalkan oleh orang yang aku sayangi. Ayah, ayah yang aku sayangi, pengayom ku dan pahlawanku.

Dan kini orang yang aku kagumi dengam kesederhanaannya dengan kelembutannya menghadapi segala sesuatu. Seakan tiada rasa benci sekalipun dengan apa yang telah di hadapinya.
Dengan senyum ringan selalu membuat orang hormat padanya.
Dia selalu baik terhadap orang lain dan tak hayal orang lain berlaku hal yang sama meski terkadang ada orang yang berlaku kasar namun entah kekuatan apa yang membuat orang otu berubah seketika saat bapa si penjual kopi menawarkan secangkir kopi panas pada mereka dan saat itu juga mereka menurutinya untuk meredakan emosi.

Aku yang hanya sebagai pemerhati tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sebuah memori yang sangat berharga untuk pelajaran hidup. Bahwa segala permasalahan harus di hadapi dengan kesabaran dan ketenangan jiwa.
Pagi itu juga aku buka sebuah kotak berwarna coklat tua.
Ada setangkai bunga mawar putih yang masih ituh. Tangkai yang kering namun bunganya tetap segar. Ada secarik kertas tertulis,

" Kutitipkan bunga Mawar putih ini untuk kau jaga dan kau rawat, cukuplah tersenyum dipagi hari setelah engkau berdoa pagi dan tutuplah setelah kau melihatnya"

Tertanda,
Panji

Tertunduk wajahku dalam menatap kertas kosong didepanku, tak sadar jemariku menarikan pena diatasnya, bersamaan airmata menetes merambati pipiku.

Doa
Sesaat dalam keheningan
Kelebat wajahmu yang selalu hadir
Menghiasi hari hari ku
Kau yang selalu ceria
Kau yang selalu gembira
Setidaknya itu yang aku rasakan
Kamu ada dan hadir dalam setiap detik dan detak nadiku
Dalam kotak ini hatiku terpatri
Terbatasi dalam kesunyian yang dalam
Menyanyi dalam kegelapan
Terunggah hadir saat kau ada menjelma
Menembang lagu yang selalu mengehentak
Kamu ada dan hadir dalam setiap detik dan detak nadiku
Biarlah disini saja kita bertemu
Tak usah riuh mencari waktu yang tak jua berkenan membaginya
Hanya dalam ruang berbatas embun membentang cakrawala
Dunia tak berbatas karena dalam retas malam aku dapat merengkuhmu.


==== Tamat ====


Tabik,
Nike_Rifa
Dibuat tgl 20.05.2016
Edit dan posting 10. 11. 2017


Komentar

Postingan Populer